Gethok Tular dan Pariwisata

January 29, 2010

Eka Nada Shofa Alkhajar

The medium is the message (McLuhan).

Indonesia bagaikan untaian mutiara di khatulistiwa. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, banyak hal yang patut dibanggakan di negeri ini baik itu keindahan alam maupun keragaman budaya.

Lalu, bagaimana agar keindahan alam dan kekayaan budaya Indonesia dapat dijual untuk memberikan masukan lebih bagi devisa? Pertanyaan tersebut, tentu relevan dengan program Visit Indonesia Year 2010 yang dicanangkan pemerintah sejak awal tahun ini.

Dalam majalah Cakram edisi Mei 2008, data tahun 2004 hingga akhir 2007 menunjukkan, wisatawan berkunjung ke Malaysia, Singapura dan Thailand jauh lebih banyak dibandingkan dengan yang datang ke Indonesia. Malaysia (68,9 juta), Thailand (47,48 juta), Singapura (37,24 juta) dan Indonesia (19,2 juta).

Untuk mendongrak kunjungan wisatawan, pemerintah melalui Kementerian Budaya dan Pariwisata RI telah menyediakan dana untuk komunikasi pariwisata sebesar Rp. 150 miliar yang diharapkan mampu menyedot sekitar 7 juta wisatawan.

Pada saat membicarakan arti penting komunikasi dalam pariwisata, orang selalu menunjuk kepada media dan lembaga komunikasi. Media komunikasi pariwisata dapat berupa surat kabar, majalah, brosur, televisi, radio dan film.
Lembaga komunikasi pariwisata berkaitan dengan promosi pariwisata secara nasional seperti Pusat Promosi Pariwisata Indonesia (P3I) dan semua konsulat serta Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) yang ada di berbagai negara.

Namun, ada yang terlupa bahwa diluar media dan lembaga komunikasi itu terdapat suatu proses komunikasi gethok tular yang berkembang di antara wisatawan dan pramuwisata (guide). Dalam terminologi komunikasi, gethok tular atau komunikasi dari mulut ke mulut (mouth to mouth communication) merupakan bentuk komunikasi non media (Chusmeru, 2001).

Bentuk komunikasi ini dapat terjadi pada skala mikro (interpersonal) maupun dalam skala makro (sosial). Komunikasi gethok tular ini mempunyai peranan sangat penting dalam kegiatan pariwisata.

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa presentase sumber informasi bagi wisatawan yang berkunjung ke Indonesia terbanyak berasal dari komunikasi gethok tular di antara wisatawan. Misalnya, R.G. Soekadijo (1996: 256) menyebutkan bahwa sumber informasi tentang Indonesia yang diperoleh wisatawan melalui teman atau kenalan sebanyak 29,8 persen.

Melalui agen atau biro perjalanan 23,3 persen. Sedangkan informasi lewat surat kabar dan majalah 10,7 persen, brosur 17,2 persen, televisi dan radio 4 persen. Sumber informasi yang berasal dari lembaga masing-masing 2,2 persen lewat KBRI dan konsulat dan 2,6 persen melalui P3I.

Bila dijumlahkan presentase sumber informasi berdasarkan media, lembaga, dan gethok tular, maka persentase terbesar ada pada sumber informasi teman dan biro perjalanan yaitu 53,1 persen. Media komunikasi dipercaya sebagai sumber informasi sebesar 31,9 persen.

Sedangkan sumber informasi wisatawan melalui lembaga P3I dan KBRI hanya 4,8 persen. Hal ini menunjukkan bahwa komunikasi gethok tular, baik melalui teman maupun biro perjalanan (termasuk pramuwisata) mempunyai peranan yang sangat penting.

Sebut saja Bali sebagai salah satu primadona bisnis pariwisata Indonesia sudah barang tentu sangat berkepentingan terhadap proses komunikasi gethok tular. Sebagai konsekuensi terkonsentrasinya wisatawan, berbagai informasi lebih cepat menyebar, baik informasi bisnis, sosial, budaya, politik maupun kriminalitas. Misalnya, peristiwa yang terjadi di Bali lebih cepat menyebar secara luas ke berbagai negara dibanding dengan daerah-daerah di Kalimantan. Meskipun media massa nasional dan KBRI tidak memberitakan peristiwa kriminal yang dialami wisatawan selama di Bali, peristiwa itu tetap tersebar ke mancanegara. Wisatawan-wisatawan lain yang menyaksikan dan mendengar peristiwa itu akan berperan sebagai jurnalis bagi wisatawan lain.

Selama komunikasi gethok tular terjadi dalam skala mikro tidak begitu mengundang masalah. Informasi tentang peristiwa di kawasan wisata hanya berkembang dari seorang wisatawan kepada wisatawan lain. Namun, masalahnya akan menjadi serius apabila informasi itu berkembang dalam skala makro. Serombongan wisatawan yang mendapatkan perlakuan kurang menyenangkan dari masyarakat di sekitar objek wisata akan segera menyebarluaskannya kepada kelompok wisatawan lain serta sanak keluarga di negaranya. Akhirnya, informasi itu akan meluas menjadi opini publik yang merugikan bisnis pariwisata. Padahal opini publik diakui sebagai the invisible force yang berbahaya.

Kekuatan komunikasi gethok tular itu sendiri sesungguhnya terletak pada kuatnya isu atau masalah, dan arti penting masalah tersebut bagi wisatawan. Opini negatif yang berkembang di antara wisatawan tentu tidak dapat dibiarkan begitu saja. Opini yang sudah terlanjur mengkristal dan membatu (festing) sangat sulit diperbaiki maupun diubah. Oleh karena itu, diperlukan saluran (canalization) opini agar sesuai dengan yang diharapkan.

Berkaitan dengan komunikasi gethok tular, ada dua hal yang mungkin dilakukan untuk mengantisipasi opini yang kurang menguntungkan di bidang pariwisata. Pertama, menciptakan jaringan komunikasi gethok tular diantara wisatawan dan karyawan biro perjalanan. Melalui jaringan ini wisatawan yang akan dan sedang berkunjung telah dibekali informasi lengkap tentang berbagai persoalan yang terjadi di berbagai daerah.

Pramuwisata pun perlu mendapat bekal wawasan sosial, budaya, dan politik agar dapat memberikan penjelasan yang lengkap kepada wisatawan bila terjadi permasalahan di tanah air. Untuk itu diperlukan kerja sama dan koordinasi antar departemen yang terkait dengan bisnis pariwisata.Jaringan itu sekaligus dapat dimanfaatkan untuk menyadarkan wisatawan agar tidak terburu-buru menyebarluaskan suatu masalah sebelum mendiskusikannya dengan instansi terkait.

Langkah kedua, perlu dibentuk semacam lembaga ombudsman. Lembaga ini berperan menampung dan menganalisis keluhan, kritik, dan saran wisatawan. Bentuknya bisa kotak pos, badan pengaduan pariwisata yang dikelola pemerintah atau swasta, maupun media massa lokal. Selanjutnya, hasil analisis lembaga ombudsman disampaikan kepada instansi pemerintah dan swasta yang bergerak di bidang pariwisata untuk mendapat tanggapan dan pemecahan masalah.

Dengan demikian, permasalahan yang dialami wisatawan tidak berkembang menjadi opini publik yang merugikan bisnis pariwisata. Isu negatif tidak menyebar melalui komunikasi gethok tular, tetapi ditampung dan diarahkan lewat saluran yang tersedia. Ini dapat efektif, dengan syarat setiap komponen pariwisata baik itu pemerintah, pengusaha bisnis perhotelan, biro perjalanan maupun penyedia jenis jasa layanan transportasi mampu bersinergi satu sama lain serta bersedia menerima kritik secara terbuka; betapapun kritik itu kurang menyenangkan.

Dimuat di Pelita, 21 Januari 2010

Sepenggal Kisah Lalu

January 13, 2010

Eka Nada Shofa Alkhajar

Banyak orang bilang seorang sahabat itu lebih berarti dari teman bahkan kekasih kita sendiri. Karena seorang sahabat akan selalu ada untuk kita. Saat senang dan sedih. Seorang sahabat akan selalu membantu saat kita dalam kesulitan. Ia sedih ketika kita bersedih dan ia pun gembira jika kita merasa gembira. Sahabat adalah segala-galanya.

Anggapan tersebut sepertinya telah aku temukan dalam diri seorang sahabatku Adit Ardiansyah. Kami bertemu dan menjalin persahabatan sejak bangku SMP. Dalam suka maupun duka kami senantiasa bersama. Aku masih ingat saat itu kami berdua ikut OSIS di SMP kami. Adit di bidang kehumasan sedangkan aku pada bidang berbangsa dan bernegara. Saat menjalani masa pelatihan kepemimpinan, pada sebuah sesi panitia meminta agar ada perwakilan dari peserta tampil untuk membawakan sebuah lagu bebas. “Saya, kak!,” ucap Adit kepada kakak panitia.

“Iwan, kamu maukan menemaniku. Nanti kamu yang main gitar, aku yang nyanyi,” ajak Adit kepadaku.

“Ok, beres bro,” timpalku

Lalu kami memberanikan diri bernyanyi di depan peserta pelatihan yang lain. Sebuah lagu Band Stinky “Mungkinkah”. Kami pun bernyanyi dengan diikuti peserta-peserta lain. “Mungkinkah kita kan slalu bersama….bla..bla….”

Setelah selesai, seluruh peserta dan panitia spontan memberikan tepukan kepada kami mereka menilai penampilan kami barusan sangat bagus dan hebat. Saat itu kami hanya tersenyum lebar.

Setelah masa pelatihan selesai sontak kami menjadi terkenal di seantero SMP kami terutama di mata siswi kelas satu. Yah, inilah kami, Adit Ardiansyah dan aku, Iwan Setiawan. Kebetulan memang kami berdua terkenal cukup ganteng dan tergolong siswa kelas satu yang smart. Adit adalah rangking 1 di kelasnya 1-2, sedangkan aku sendiri peringkat 1 di kelasku 1-9. Namun, keadaan ini tidak membuat kami sombong atau pun pongah malah membuat kami semakin rendah hati.

Di SMP pun ada kisah asmara yang terjadi, menurut penuturan Adit ada seorang cewek yang naksir kepadaku. Akhirnya aku pun tahu, cewek itu bernama Fitriah Handayani. Seiring waktu berjalan aku pun merasa kalau aku suka dengan Fitriah. Adit pun tahu keadaanku saat itu.

“Dit, kayaknya aku juga suka deh sama Pipit. Tapi aku bingung harus gimana?” ungkapku.

“Ya sudah, bilang saja kalau kamu suka kan beres” jelas Adit.

“Beres apanya, aku kan nggak berani, Dit”

“Ah, payah kamu, masak pelajaran jago tapi untuk satu ini nggak,” ledek Adit.

Entah kenapa, aku tetap saja tidak berani mengungkapkan perasaan sukaku kepada Pipit, panggilan akrab Fitriah. Padahal untuk ukuran cewek Pipit itu tergolong cantik dan pandai di kelasnya 1-4. Satu yang pasti Pipit itu suka kepadaku.

Selang beberapa bulan kemudian aku mendengar kabar bahwa Pipit jadian dengan Adit. Saat itu aku merasa dikhianati oleh sahabatku sendiri padahal ia tahu bahwa aku pun suka Pipit.

Siang itu sepulang sekolah aku langsung meminta klarifikasi mengenai kejelasan informasi tersebut,

“Dit, kamu tega ya khianatin sahabatmu sendiri?” sergahku

Adit terdiam terpaku tanpa satu kata pun keluar dari mulutnya.

“Bener kamu jadian sama Pipit?,” tanyaku lagi dengan nada tegas.

“Ya!”

Dengan satu ucapannya itu cukup untuk membuat dadaku berdegub kencang dan terasa sesak sekali, dengan perasaan kesal dan kecewa aku meninggalkan Adit tanpa satu patah kata pun.

Keesokan harinya Adit meminta maaf kepadaku, sebenarnya aku pun masih kesal tapi karena ia adalah sahabatku ia pun aku maafkan. Toh, sahabat lebih berarti ketimbang orang yang kita sayangi begitu pikirku dalam hati.

Selepas lulus dari SMP, kami tidak pernah berkomunikasi lagi karena Adit meneruskan sekolah di luar kota. Setelah 15 tahun kemudian, kami tidak sengaja bertemu kembali dalam sebuah acara lelang properti di Jakarta. Usut punya usut, ternyata Adit pun menggeluti bisnis yang sama denganku, bisnis properti. Sekian lama kami tak bertemu, kami pun langsung berbincang-bincang.

“Hei, pa kabar nih sobat?”

Belum sempat menjawab aku langsung menanyakan lagi, aku memberondongnya dengan pertanyaan lain,

“Sudah punya istri belum, sudah punya anak berapa?”

“Aku baik, sekarang aku sudah berkeluarga dengan dua orang anak,” jawabnya singkat.

“Siapa istrimu?”

“Pipit”, jawabannya membawaku teringat akan seorang cewek, teman SMPku yang dulu direbut oleh Adit, tapi lamunan itu segera aku tepis.

Singkat kata, kami sepakat untuk membangun dan mengelola bisnis properti bersama-sama. Dalam beberapa tahun bisnis kami mengalami kemajuan yang sangat pesat. Omzet kami bisa mencapai miliaran rupiah. Memang dari awal akulah yang mengelola mengenai masalah keuangan dalam bisnis properti kami karena akulah yang memiliki saham yang paling besar. Sampai suatu ketika, terpikir untuk memberikan kepercayaan kepada sahabatku Adit, untuk mengelola keuangan bisnis kami karena aku harus pergi ke luar negeri tepatnya ke Perancis untuk mengikuti pelatihan pemasaran properti selama sebulan guna menambah kemampuanku dalam bidang bisnis properti.

“Aku harus meninggalkan Jakarta selama sebulan penuh, Dit,” ujarku.

“Lho emangnya ada agenda apa sampai harus selama sebulan?” Tanya Adit dengan nada keheranan dan keingintahuan yang besar.

“Aku harus mengikuti pelatihan pemasaran properti di Perancis, untuk itu aku menyerahkan seluruh pengelolaan keuangan bisnis properti ini kepadamu sekalian supaya  kamu juga bisa belajar,” jelasku.

Aku sangat yakin dan percaya karena ia adalah sahabatku. Sahabat adalah orang yang dapat dipercaya. Begitu alasan yang terlintas di pikiranku.

Saatnya tiba bagiku untuk berangkat ke Perancis, setelah hampir satu minggu kami selalu kontak untuk membicarakan perkembangan bisnis properti kami. Aku merasa tenang apalagi menurut penuturan Adit bisnis kami semakin pesat saja. Bagiku tidak ada yang dapat ku percaya selain Adit, karena selain ia sahabatku kebetulan juga aku belum berkeluarga. Inilah gunanya sahabat pikirku.

Namun, aku mulai merasakan keanehan ketika hampir dua minggu Adit tidak juga menghubungiku lagi, ponselnya pun sering tidak aktif ketika aku hubungi. Ia juga tidak pernah mengangkat teleponku. Bahkan aku sudah mengirim sms agar ia segera menghubungiku tapi selalu tidak dibalas. Firasatku berkata jangan-jangan ada yang tidak beres di Jakarta sana. Ini hari terakhir, aku mengikuti pelatihan setelah itu aku memutuskan untuk segera kembali ke Jakarta untuk mengetahui segala yang telah terjadi.

Firasatku ternyata benar, bisnis properti yang aku percayakan kepada Adit tidak berkembang bahkan kini mengalami kebangkrutan. Karena Adit bersama koleganya melakukan tindak korupsi dan penggelapan uang sebesar 20 miliar rupiah. Sehingga dana uang yang seharusnya digunakan untuk biaya operasional bisnis tidak digunakan sebagaimana mestinya, malah ia nikmati sendiri. Informasi aku dapatkan setelah aku menanyakan kepada salah seorang mantan pegawai yang telah dipecat oleh sahabatku sendiri tanpa sepengetahuanku selaku pemegang saham terbesar bisnis kami. Sahabatku juga melakukan tindakan gila, dengan mem-PHK seluruh pegawai yang tadinya berkecimpung dalam bisnis properti kami. Informasi terakhir yang aku dapatkan Adit kini telah pindah ke luar negeri tanpa ada yang tahu dimana keberadaannya. Oh, sahabatku…..teganya engkau……***

Dimuat di Kumpulan Cerpen Terpilih Antologi Joglo 5 ”Pentas di Atas Mimpi” (2008).

Meneropong Suksesi Kota Solo

January 13, 2010

Eka Nada Shofa Alkhajar

Pemilihan kepala daerah (Pilkada) atau suksesi pimpinan daerah di Kota Solo memang baru akan digelar beberapa bulan ke depan. Namun, nampaknya isu ini sudah semakin mencuat dan menghangat. Meminjam ungkapan Peter Calvert dalam The Process of Political Succession (1995), dikatakan bahwa situasi seperti ini merupakan suatu hal jamak menjelang adanya perhelatan kompetisi politik dalam rangka meraih kekuasaan.

Hal ini memang tidak dapat dimungkiri, karena dalam waktu yang relatif singkat sekitar enam bulan lagi, masa jabatan pasangan Walikota dan Wakil Walikota Joko Widodo (Jokowi) dan FX Hadi Rudyatmo (Rudy) akan berakhir.

Setidaknya, isu yang muncul adalah perbincangan mengenai kandidat yang akan maju dalam pemilihan yang dijadwalkan pada 26 April 2010 mendatang. Sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, bahwa dalam kerangka pelaksanaan otonomi daerah yang optimal diperlukan kepala daerah yang kredibel, kapabel dan akseptabel, serta memiliki visi ke depan untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan rakyat dan partisipasi masyarakat terhadap negara.

Menilik hal tersebut, banyak kalangan yang mengatakan bahwa peluang incumbent untuk kembali memimpin terbuka lebar. Ini tentu merupakan suatu hal yang rasional mengingat incumbent sudah memiliki modal, terutama dalam pencitraan dan kinerja selama pemerintahannya. Akan tetapi, menurut saya incumbent pun tidak boleh terlalu berbangga diri bahwa pemerintahan yang sekarang telah berhasil apalagi merasa seakan tanpa cela. Jelas semua pilihan akan kembali kepada masyarakat mengenai siapakah yang pantas untuk memimpin Kota Solo lima tahun ke depan.

Oleh karena itu, kesempatan sungguh masih sangat terbuka bagi para kandidat dari partai politik lain ataupun calon independen untuk turut berkompetisi dalam ajang Pilkada Solo 2010. Saya pikir para tokoh baru yang nantinya akan berkompetisi akan menggunakan “aksioma politik” yang diungkapkan oleh Lord Acton yakni power tends to corrupt and absolute power tends to corrupt absolutely. Aksioma politik ini berlaku universal, baik di Barat maupun di Timur. Tidak ada yang tidak mungkin dalam politik apalagi ada adagium bahwa dalam politik tidak ada kawan dan lawan abadi, yang ada hanyalah kepentingan. Segala hal dapat dilakukan asalkan sesuai dengan koridor dan aturan main yang benar.

Namun tentunya yang sangat penting adalah pembelajaran demokrasi yang sehat, kritis dan mendidik kepada warga masyarakat, di mana para kandidat yang akan berkompetisi hendaknya menggunakan kesantunan politik secara elegan dengan tidak menghalalkan segala cara untuk menang seperti politik uang (money politic), black campaign, intimidasi, kekerasan dan sebagainya yang tentunya malah akan mencoreng muka demokrasi itu sendiri.

Untuk menjaga agar Pilkada senantiasa berjalan dalam rel yang tepat ke arah tegaknya demokrasi, kiranya ada hal-hal penting yang harus dijalankan karena akan turut menentukan suksesnya hajatan tersebut. Hal itu adalah mengenai kesiapan terkait pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan oleh pihak penyelenggara, yakni KPU Solo terutama mengenai partisipasi pemilih.

Tentunya kita harus belajar dan berkaca dari masa lalu bahwa pada kenyataan Golputlah yang menang di Kota Solo, di mana jumlah suara Golput lebih banyak dari perolehan suara pemenang Pilkada Solo 2004. Ketika itu, pasangan Jokowi-Rudy meraih dukungan 99.747 suara atau 26,48 persen, sementara jumlah pemilih Golput mencapai 104.248 suara atau sekitar 27,68 persen dari seluruh daftar pemilih tetap (DPT) yang berjumlah 376.611. Dengan kata lain, Golput di Solo mengungguli Jokowi-Rudy dengan selisih 4501 suara. Dan jangan lupa, hal serupa juga terjadi di Sukoharjo dan Boyolali. Di mana Golput mengungguli suara pemenang Pilkada.

Paling Menentukan

Pelajaran dari masa lalu ini hendaknya menjadi cermin bagi penyelenggara untuk lebih menggenjot tingkat partisipasi pemilih. Hal ini menjadi penting sebab memberikan suara dalam Pemilu/Pilkada merupakan salah satu bentuk partisipasi politik sebagai perwujudan dari kedaulatan rakyat untuk menentukan kebijakan pemerintahan (Budiardjo, 1998). Karena pada saat itulah, rakyat menjadi pihak yang paling menentukan bagi proses politik terlebih pada Pilkada Solo 2010, karena partisipasi rakyat menentukan arah kebijakan Kota Solo ini lima tahun ke depan.

Upaya untuk mengantisipasinya adalah dengan melakukan pendataan pemilih sedini mungkin untuk menghasilkan data yang mutakhir, akurat dan valid sehingga akan menjamin bahwa suara rakyat dari kalangan mana pun yang telah memiliki hak pilih, mempunyai nilai penting dan harga yang sama dalam menentukan pemimpinnya. Hal ini juga sebagai antisipasi dari masalah pemilih seperti banyak calon yang tidak tercantum dalam DPT, membengkaknya jumlah pemilih menjelang pemilihan, sampai adanya pemilih ganda dan sebagainya.

Menciptakan suatu sistem pemutakhiran data pemilih, merupakan kebutuhan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi karena DPT adalah persoalan serius dan rentan akan konflik. Selain itu, upaya menggalakkan sosialisasi, informasi dan pendidikan pemilih penting untuk segera dilakukan baik itu mengenai seluk beluk Pilkada, tahapan-tahapannya maupun para kandidat (ketika sudah resmi ditetapkan sebagai peserta Pilkada Solo 2010).

Dalam konteks urgenitas, pembentukan pola pikir kritis dan rasional pemilih dalam mempertimbangkan segala keputusan politik atas dasar kemampuan, visi-misi, dan track record dari para kandidat Walikota dan Wakil Walikota, adalah suatu hal yang mutlak adanya. Hal ini agar pemilih memiliki kesadaran dan partisipasi politik secara proporsional. Sehingga dengan demikian, optimisme untuk menghindarkan pemilih yang menjatuhkan pilihannya karena pertimbangan pragmatis berupa uang atau materi, bisa terlaksana.

Agar lebih memasifkan upaya sosialisasi, informasi dan pendidikan pemilih, KPU Solo dapat menggandeng dan mengajak berbagai elemen masyarakat untuk bersama-sama turut berpartisipasi dalam mencerdaskan masyarakat pemilih guna mewujudkan Pilkada Solo 2010 yang demokratis dan berkualitas.

Ke depan, siapa pun yang akan maju dalam perhelatan suksesi Pilkada di Kota Solo harus menjunjung tinggi semangat membangun menuju good governance, guna mewujudkan Kota Solo yang aman, makmur dan sejahtera. Semoga.

Dimuat di Joglosemar, 23 November 2009

Sewu sebagai Kampung Wisata

January 13, 2010

Eka Nada Shofa Alkhajar

Mendengar nama Kampung Sewu di Kota Solo, mungkin yang terlintas di pikiran adalah ‘’kampung banjir’’. Letaknya di pinggiran Bengawan Solo memungkinkan ia terkena banjir saat hujan deras dan air sungai meluap. Namun siapa menyangka jika kampung tersebut menyimpan potensi wisata.

Kawasan ini memiliki persyaratan untuk menjadi magnet dan pilihan alternatif wisata di Kota Solo dengan aset khas sejarah dan budaya.

Perlu diketahui, Kampung Sewu merupakan suatu daerah yang memunyai sejarah yang amat lekat dengan masa pertumbuhan dan perkembangan kerajaan Keraton Kasunanan Solo, terutama terhadap aktivitas perekonomian rakyat lewat jalur perdagangan.

Pada masa lalu, sekitar abad XVIII saat lalu lintas perdagangan masih melalui jalur sungai, di kawasan ini dibangun dua dermaga sungai, tepatnya di Putat dan Beton. Ini menjadikan Kampung Sewu menjadi urat nadi perekonomian Kota Solo karena memang letaknya yang tidak jauh dari pusat kota (Balai Kota Solo).

Dalam sejarah Pelabuhan Beton merupakan salah satu dermaga ke-43 dari dari titik-titik dermaga mulai dari Surabaya,

Bojonegoro, Ngawi, Sragen hingga terakhir Sukoharjo. Bahkan Pelabuhan Beton mulai difungsikan sejak zaman Kerajaan Majapahit sekitar abad XIV saat pusat Kerajaan Majapahit berada di Mojokerto.

Sayang tanda-tanda yang menunjukkan Beton sebagai sebuah dermaga atau pelabuhan hampir sudah tidak ada (sebuah langgar kuno dan batu tempat singgah yang digunakan oleh Pangeran Mangkubumi I), karena sebagian besar sudah hilang karena proses alam (abrasi, terkikis aliran sungai).
Namun, kini di tanah bantaran yang tersisa dibekas Pelabuhan Beton telah dipercantik dengan penataan taman dan pembuatan relief batu besar juga telah dibuat sebuah prasasti yang menyebutkan atau menandakan bahwa Pelabuhan Beton dulu pernah ada di kawasan tersebut.

Menjanjikan

Hal ini tentu amat menjanjikannya sebagai wisata sejarah. Untuk penciptaan keramaian kawasan ini dapat pula diadakan Festival Gethek Bengawan dan alangkah lebih baik bila disediakan perahu atau sampan untuk pengunjung yang ingin menikmati secara langsung berlayar di Sungai Bengawan Solo.

Selain itu, di Kampung Sewu ini juga terdapat banyak situs peninggalan sejarah dan beragam ritual dapat masyarakat yang unik dan layak dijual sebagai salah satu konsumsi wisatawan di antaranya adalah Pohon Pamrih dan acara ritual Apem Sewu serta bangunan-bangunan kuno lainnya. Konon Pohon Pamrih adalah sebuah pohon jelmaan dari tongkat milik Sultan Hamengku Buwono I.

Sementara kalangan sejarawan dan tokoh masyarakat Sewu mengatakan kata ”Pamrih” yang menjadi nama pohon tersebut merupakan tempat yang dipergunakan sebagai tempat tirakat, petilasan atau pertapaan oleh Pangeran Mangkubumi sebelum mendapat gelar Raja dan bergelar Sultan Hamengku Buwono I tatkala memperkuat iman dan mentalnya dalam perjuangan menghadapi penjajah Belanda. Pamrih merupakan situs sejarah yang memiliki makna penting sebagai salah satu objek wisata budaya.

Acara rital Apem Sewu pun tak kalah menarik. Tradisi Apem Sewu ini berangkat dari pesan yang disampaikan oleh seorang ulama penyebar syiar agama Islam bernama Ki Ageng Gribig yang berpesan kepada seluruh warga untuk membuat dan membagi-bagikan kue apem sebanyak 1.000 buah.

Pembagian Apem Sewu ini bertujuan untuk mengungkapkan rasa syukur atas karunia dari Allah setelah masyarakat di Wilayah Beton terhindar dari sebuah bencana wabah penyakit (pageblug). Hal ini kemudian menjadi tradisi dan dilakukan secara turun temurun sejak ratusan tahun lalu yang hingga sekarang tetap diletarikan, khususnya setiap tanggal 19 Dzulhijah.

Apabila acara ritual Apem Sewu dapat dikembangkan dan dikemas semakin menarik tentu akan menjadi magnet tersendiri bagi masyarakat di luar Kampung Sewu terutama simpati dari para wisatawan domestik dan asing. Apalagi ditambah dalam ritual Apem Sewu sangat kental akan nuansa tradisional yang dibawanya.

Ritual ini di awali dengan Kirab Budaya sebagai salah satu mata rantai acara ritual Apem Sewu dimana semua peserta menggunakan pakaian adat Solo bahkan tipe pasukan keraton juga dilibatkan.

Peristiwa penyerahan bahan makanan (Uba Rampe) pembuat kue Apem dari tokoh pemimpin masyarakat (Wali Kota) kepada warga sesepuh Kampung Sewu adalah momentum untuk mengawali pembuatan ritual apem sebanyak 1000 buah.

Dalam prosesi ini bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa Jawa. Nuansa Jawa yang disampaikan dalam kirab budaya ini tentu tidak lain juga berfungsi untuk melestarikan dan mengangkat pamor Kota Solo sebagai Kota Budaya.

Dikelola

Karena itu, apabila berbagai kemasan wisata di Kampung Sewu tersebut dapat dikelola dengan baik tentu akan menjadi nilai positif tersendiri bagi Pemkot Solo yakni sebagai salah satu alternatif kawasan wisata di Solo.

Untuk mewujudkan semua itu tentu membutuhkan dukungan dari berbagai pihak terutama butuh dukungan nyata dari Pemkot Solo.

Pemkot Solo harus mampu bersinergis dengan warga setempat dalam mengoptimalkan potensi Kampung Sewu dimana tentunya akan mampu mendorong peningkatan lapangan kerja yang memadai dan dapat menopang pendapatan asli daerah (PAD).

Menurut penulis dibutuhkan berbagai langkah-langkah baik itu dari sisi peningkatan sarana dan prasarana seperti lokasi parkir, perbaikan jalan serta kios-kios bagi penjual souvenir perlu dibangun agar dukungan masyarakat dengan menjual cinderamata bisa terealisasikan sehingga layak menjadi kampung wisata sejarah dan budaya serta upaya sosialisasi dan publikasi secara masif untuk membangun image Kampung Sewu misalnya melalui brosur, buku informasi pariwisata atau guide khusus yang sudah terlatih untuk mempromosikan potensi Kampung Sewu sebagai kawasan kampung wisata yang memesonakan secara lengkap.

Jika tidak, Kampung Sewu ibarat hanya menjadi ”mutiara yang tetap terpendam”.

Dimuat di Suara Merdeka, 7 Oktober 2009

Merefleksi Ulang Makna Sumpah Pemuda

January 11, 2010

Eka Nada Shofa Alkhajar

Sudah puluhan kali peringatan Sumpah Pemuda 28 Oktober kita lalui setiap tahunnya, tepatnya 81 tahun sejak dideklarasikannya momentum penting tersebut sebagai bukti otentik yang tidak dapat dipungkiri bahwa pemuda memiliki peranan yang tidak dapat dilupakan dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Selain itu, sejumlah fakta sejarah telah mencatat dengan tinta emas peran dan kekuatan pemuda dalam mendorong terjadinya gelombang perubahan. Sebut saja, Proklamasi 1945 hingga Reformasi 1998.

Bahkan dalam konteks saat ini, Sheila Kinkade dan Christina Macy dalam buku Our Time is Now: Young People Changing the World menekankan kembali bahwa abad ke-21 adalah abad kaum muda. Hal ini ditandai dengan semakin berperannya pemuda dalam perubahan dunia. Ada aksioma bahwa sebuah peradaban suatu bangsa tidak dapat dipisahkan dari peran pemudanya. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa dalam lingkar sejarah suatu bangsa peran pemuda memang sangat menentukan terhadap peradaban sebuah bangsa tersebut.

Pemuda memiliki energi potensial untuk melakukan perubahan sejarah. Dalam konteks kekinian peran pemuda dan eksistensi kaum muda dihadapkan pada situasi yang tidak mudah. Lalu bagaimana dengan pemuda Indonesia? Mau kemana? Pertanyaan ini sebenarnya ditujukan bagi segenap kalangan yang mengaku sebagai pemuda Indonesia karena dapat dikatakan bahwa kualifikasi suatu bangsa ditentukan oleh pemuda yang dilahirkan. Karena pemudalah yang kelak akan menjadi tulang punggung bangsa ini ke depan.

Kini sudah saatnya kita melakukan tinjauan kritis akan mitos dari pemuda dalam arti bahwa sudah bukan waktunya lagi bagi pemuda di masa sekarang terus terbuai dengan sebuah jubah kebesaran historis dari peran pemuda di masa lampau, justru kini telah tiba waktunya untuk menggoreskan tinta sejarahnya sendiri. Sudah saatnya bagi kita untuk melakukan analisis kritis akan kondisi realitas yang terjadi untuk melahirkan apa yang dinamakan–meminjam terminologinya Paulo Freire–sebuah kesadaran kritis (critical conciousness).

Menilik realitas pemuda saat ini, penulis ingin melihat dari salah satu sudut kecil betapa kini persatuan antar pemuda seakan mulai melemah dimana akhir-akhir ini banyak terjadi tawuran yang melibatkan mahasiswa yang notabenenya adalah kalangan pemuda yang kelak menjadi tulang punggung peradaban bangsa ini. Tak bisa disanggah hal ini merupakan sebuah hal ironis!. Bagaimana tidak, realitas ini tentu sangat terbalik dengan semangat persatuan yang didengungkan dan dituangkan dalam butir-butir Sumpah Pemuda. Apalagi mahasiswa adalah golongan intelektual yang keberadaannya memperoleh tempat dan dianugerahi gelar yang tinggi di tengah masyarakat. Mulai dari agent of change, kalangan terpelajar, avant garde dan lain sebagainya.

Louer (1993) pernah mengutip sebuah kalimat dari naskah kuno “peradaban suatu bangsa akan menemui ajal apabila tindakan generasi mudanya yang keterlaluan diperbolehkan berlanjut”. Louer benar karena generasi muda atau pemudalah yang kelak akan menjadi pemimpin bangsa. Jika generasi muda tidak mempersiapkan diri untuk menatap kehidupan di masa depan maka jangan harap bangsa tersebut akan maju dan berkembang.

Eksistensi pemuda hampir selalu menjadi pelopor perubahan suatu bangsa. Bahkan kalau menggunakan konsep teori kelasnya Karl Marx, pemuda diletakkan dalam kelas sosial menengah yang sangat strategis. Yaitu, sebagai counter balances (kekuatan penyeimbang) dan solidarity maker (pembuat solidaritas) antara rakyat dan negara.

Begitu stategisnya, maka dalam kancah sosial politik keberadaan pemuda pun menjadi pusat perhatian dan simpati. Ide-ide yang disuarakan oleh kaum muda sering dianggap perwujudan moral dan suara rakyat. Sebab, gagasan dan ide-ide yang diusung atau yang disuarakan pemuda selalu mencerminkan kepentingan rakyat bawah (grass root).

Melihat realitas yang ada tentu peran-peran yang diharapkan tadi seakan menjadi hambar dan kabur dengan banyaknya kasus tawuran antar mahasiswa. Bagaimana bisa memerankan peran-peran tersebut bila mahasiswanya malah terjebak dalam aksi anarkis dan kekerasan.

Mengacu pada terminologi sosiolog UI Imam B. Prasojo bahwa tindakan kekerasan adalah sebuah tindakan yang primitif. Maka sudah seharusnya sebagai kalangan intelektual senantiasa belajar dan merenung karena kekerasan tentu tidak sejalan dengan status “intelektual” yang disandang oleh mahasiswa.

Untuk itu, mari kita bersama-sama berrefleksi diri untuk mengembalikan semangat Sumpah Pemuda dengan sebenar-benarnya. Jangan sampai momentum ini hanya menjadi sekedar seremonial belaka. Siapapun yang mengaku pemuda, terutama mahasiswa wajib menyadari peran mereka bagi masa depan bangsa sehingga sudah seharusnya dapat memaknai, memahami, dan menghayati serta mampu mengejawantahkannya dalam menjawab segenap problematika bangsa minimal di lingkungan sekitarnya.

Jadi, walaupun berbeda setting waktu dan situasi ketika Sumpah Pemuda dideklarasikan 28 Oktober 1928 dengan saat ini, namun orientasi, peran dan idealisme semestinya tetap pemuda pegang teguh untuk menjawab persoalan kebangsaan dengan cara-cara yang relatif berbeda. Perjuangan pemuda kini jelas bukanlah angkat senjata/bambu runcing vis a vis dihadapkan dengan imperalisme penjajah maupun gerakan komunis secara fisik (PKI) ataupun musuh bersama berupa penguasa/rezim otoriter (Abdurrahman, 2008).

Dimuat di Wawasan, 3 November 2009